Your Ad here ...



Product ...

Services ...

Other things ...

Foto Saya
Nama:
Lokasi: Semarang, Jawa Tengah, Indonesia

Agus Thohir, Birth of a simple family in Grobogan, Central Java, Indonesia. After graduating from high school in Purwodadi, Grobogan, then continued to study at the Institute of Islamic Studies (IAIN) Walisongo Semarang holds a Bachelor of Education in Islamic Studies, he worked with several social organizations that concern to the environment and youth empowerment. Agus Thohir elected as Chairman of the Islamic Students Association (HMI) Semarang branch in the period 2009/2010 at the 49th Conference of the Semarang branch HMI, and in the period 2011/2013 was given the mandate as the Secretary-General of the Central Board (PB HMI). Now Thohir working and studying at the College of Islamic Economics (STEI) Husnayain and College of Islamic Education (STAI) ACPRILESMA Jakarta. It also had to form a study group with friends called Alternative Study Circle/ Lingkar Studi Alternatif (Lasta). Currently living in Jakarta, and wanted to be a teacher learners with a variety of life that focuses on social, educational and political alternatives. The desire to write and document ideas in a variety of creative ideas continue to be done in order to provide benefits to many people.







MAKNA KEADILAN

Revitalisasi Kebhinekaan “Berbeda Tapi Mesra”





November 2008 Oktober 2010




Downloads
Technology News
Templates
Web Hosting
Articles
Games
Blogger
Google



Blogger

FinalSense

Amazon

Yahoo

Ebay

<$BlogDateHeaderDate$>
MAKNA KEADILAN
KEADILAN YANG BERPIHAK
Ibnu 'Arabi, pakar tafsir dan hukum Islam bermazhab Maliki,
tidak sependapat dengan mereka yang memahami kata taqshithu
pada firman Allah di atas dalam arti berlaku adil. "Berlaku
adil", tulisnya, "adalah wajib terhadap orang-orang kafir
(baik yang memerangi maupun yang tidak)." Kata taqsithu di
sini menurutnya adalah "memberi bagian dari harta guna
menjalin hubungan baik".

Keadilan harus ditegakkan di mana pun, kapan pun, dan terhadap
siapa pun. Bahkan, jika perlu dengan tindakan tegas. Salah
satu ayat Al-Quran menggandengkan "timbangan" (alat ukur yang
adil) dengan "besi" yang antara lain digunakan sebagai
senjata. Ini untuk memberi isyarat bahwa kekerasan adalah
salah satu cara untuk menegakkan keadilan.

bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka
berkah dari langit dan bumi. (Tetapi) mereka
mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa
mereka disebabkan perbuatannya (QS Al-A'raf [7]: 96)

Maka aku (Nuh) katakan kepada mereka, "Mohonlah ampun
kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha
Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan lebat
kepadamu, memperbanyak harta dan anak-anakmu, dan
mengadakan untukmu kebun-kebun, dan mengadakan (pula
di dalamnya) untukmu sungai-sungai (QS Nuh [71]:
10-12).

Dari rangkaian ayat di atas terlihat bahwa keadilan akan
mengantarkan kepada ketakwaan, dan ketakwaan menghasilkan
kesejahteraan. Atas dasar pertimbangan tersebut, maka
pembahasan pertama tulisan ini adalah tentang keadilan.

MAKNA KEADILAN

Keadilan adalah kata jadian dari kata "adil" yang terambil
dari bahasa Arab " 'adl". Kamus-kamus bahasa Arab
menginformasikan bahwa kata ini pada mulanya berarti "sama".
Persamaan tersebut sering dikaitkan dengan hal-hal yang
bersifat imaterial. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata
"adil" diartikan: (1) tidak berat sebelah/tidak memihak, (2)
berpihak kepada kebenaran, dan (3) sepatutnya/tidak
sewenang-wenang.

"Persamaan" yang merupakan makna asal kata "adil" itulah yang
menjadikan pelakunya "tidak berpihak", dan pada dasarnya pula
seorang yang adil "berpihak kepada yang benar" karena baik
yang benar maupun yang salah sama-sama harus memperoleh
haknya. Dengan demikian, ia melakukan sesuatu "yang patut"
lagi "tidak sewenang-wenang".

Keadilan diungkapkan oleh Al-Quran antara lain dengan
kata-kata al-'adl, al-qisth, al-mizan, dan dengan menafikan
kezaliman, walaupun pengertian keadilan tidak selalu menjadi
antonim kezaliman. 'Adl, yang berarti "sama", memberi kesan
adanya dua pihak atau lebih; karena jika hanya satu pihak,
tidak akan terjadi "persamaan".

Qisth arti asalnya adalah "bagian" (yang wajar dan patut). Ini
tidak harus mengantarkan adanya "persamaan". Bukankah bagian
dapat saja diperoleh oleh satu pihak? Karena itu, kata qisth
lebih umum daripada kata 'adl, dan karena itu pula ketika
Al-Quran menuntut seseorang untuk berlaku adil terhadap
dirinya sendiri, kata qisth itulah yang digunakannya.
Perhatikan firman Allah dalam surat Al-Nisa' (4): 135,

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak
al-qisth (keadilan), menjadi saksi karena Allah,
walaupun terhadap dirimu sendiri...

Mizan berasal dari akar kata wazn yang berarti timbangan. Oleh
karena itu, mizan, adalah "alat untuk menimbang". Namun dapat
pula berarti "keadilan", karena bahasa seringkali menyebut
"alat" untuk makna "hasil penggunaan alat itu".

KEADILAN DALAM AL-QURAN

Keadilan yang dibicarakan dan dituntut oleh Al-Quran amat
beragam, tidak hanya pada proses penetapan hukum atau terhadap
pihak yang berselisih, melainkan Al-Quran juga menuntut
keadilan terhadap diri sendiri, baik ketika berucap, menulis,
atau bersikap batin.

Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku
adil walaupun terhadap kerabat...! (QS Al-An'am [6]:
152).

Dan hendaklah ada di antara kamu seorang penulis yang
menulis dengan adil (QS Al-Baqarah [2]: 282).

Kehadiran para Rasul ditegaskan Al-Quran bertujuan untuk
menegakkan sistem kemanusiaan yang adil.

Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul, dengan
membawa bukti-bukti nyata, dan telah Kami turunkan
bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) agar
manusia dapat melaksanakan keadilan (QS Al-Hadid [57]:
25).

Al-Quran memandang kepemimpinan sebagai "perjanjian Ilahi"
yang melahirkan tanggung jawab menentang kezaliman dan
menegakkan keadilan.

Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu
(hai Ibrahim) pemimpin untuk seluruh manusia." Dia
(Ibrahim) berkata, (Saya bermohon agar) termasuk juga
keturunan-keturunanku "Allah berfirman, "Perjanjian-Ku
ini tidak akan diterima oleh orang-orang yang zalim"
(QS Al-Baqarah [2]: 124).

Demikian terlihat bahwa kepemimpinan dalam pandangan ayat di
atas bukan sekadar kontrak sosial, tetapi juga menjadi kontrak
atau perjanjian antara Allah dan sang pemimpin untuk
menegakkan keadilan.

Bahkan Al-Quran menegaskan bahwa alam raya ini ditegakkan atas
dasar keadilan:

Dan langit ditegakkan dan Dia menetapkan al-mizan
(neraca kesetimbangan) (QS Al-Rahman [55]: 7)

Walhasil, dalam Al-Quran dapat ditemukan pembicaraan tentang
keadilan, dari tauhid sampai keyakinan mengenai hari
kebangkitan, dari nubuwwah (kenabian) hingga kepemimpinan, dan
dari individu hingga masyarakat. Keadilan adalah syarat bagi
terciptanya kesempurnaan pribadi, standar kesejahteraan
masyarakat, dan sekaligus jalan terdekat menuju kebahagiaan
ukhrawi.

RAGAM MAKNA KEADILAN

Ketiga kata -qisth, 'adl, dan mizan- pada berbagai bentuknya
digunakan oleh Al-Quran dalam konteks perintah kepada manusia
untuk berlaku adil.

Katakanlah, "Tuhanku memerintahkan menjalankan
al-qisth (keadilan)" (QS Al-A'raf [7]: 29)

Sesungguhnya Allah memerintahkan berlaku adil dan
berbuat ihsan (kebajikan) (QS Al-Nahl [16]: 90)

Dan langit ditinggikan-Nya dan Dia meletakkan neraca
(keadilan) agar kamu tidak melampaui batas tentang
neraca itu (QS Al-Rahman [55]: 7-8).

Ketika Al-Quran menunjuk Zat Allah yang memiliki sifat adil,
kata yang digunakanNya hanya Al-qisth (QS Ali 'Imran [31: 18).

Kata 'adl yang dalam berbagai bentuk terulang dua puluh
delapan kali dalam Al-Quran, tidak satu pun yang dinisbatkan
kepada Allah menjadi sifat-Nya. Di sisi lain, seperti
dikemukakan di atas, beragam aspek dan objek keadilan telah
dibicarakan oleh Al-Quran; pelakunya pun demikian. Keragaman
tersebut mengakibatkan keragaman makna keadilan.

Paling tidak ada empat makna keadilan yang dikemukakan oleh
para pakar agama.

Pertama, adil dalam arti "sama"

Anda dapat berkata bahwa si A adil, karena yang Anda maksud
adalah bahwa dia memperlakukan sama atau tidak membedakan
seseorang dengan yang lain. Tetapi harus digarisbawahi bahwa
persamaan yang dimaksud adalah persamaan dalam hak. Dalam
surat Al-Nisa' (4): 58 dinyatakan bahwa,

Apabila kamu memutuskan perkara di antara manusia,
maka hendaklah engkau memutuskannya dengan adil...

Kata "adil" dalam ayat ini -bila diartikan "sama"- hanya
mencakup sikap dan perlakuan hakim pada saat proses
pengambilan keputusan.

Ayat ini menuntun sang hakim untuk menempatkan pihak-pihak
yang bersengketa di dalam posisi yang sama, misalnya ihwal
tempat duduk, penyebutan nama (dengan atau tanpa embel-embel
penghormatan), keceriaan wajah, kesungguhan mendengarkan, dan
memikirkan ucapan mereka, dan sebagainya yang termasuk dalam
proses pengambilan keputusan. Apabila persamaan dimaksud
mencakup keharusan mempersamakan apa yang mereka terima dari
keputusan, maka ketika itu persamaan tersebut menjadi wujud
nyata kezaliman.

Al-Quran mengisahkan dua orang berperkara yang datang kepada
Nabi Daud a.s. untuk mencari keadilan. Orang pertama memiliki
sembilan puluh sembilan ekor kambing betina, sedangkan orang
kedua hanya memiliki seekor. Pemilik kambing yang banyak
mendesak agar diberi pula yang seekor itu agar genap seratus.
Nabi Daud tidak memutuskan perkara ini dengan membagi
kambing-kambing itu dengan jumlah yang sama, melainkan
menyatakan bahwa pemilik sembilan puluh sembilan kambing itu
telah berlaku aniaya atas permintaannya itu (QS Shad [38]:
23).

Kedua, adil dalam arti "seimbang"

Keseimbangan ditemukan pada suatu kelompok yang di dalamnya
terdapat beragam bagian yang menuju satu tujuan tertentu,
selama syarat dan kadar tertentu terpenuhi oleh setiap bagian.
Dengan terhimpunnya syarat ini, kelompok itu dapat bertahan
dan berjalan memenuhi tujuan kehadirannya.

Wahai manusia, apakah yang memperdayakan kamu (berbuat
durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah? Yang
menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu, dan
mengadilkan kamu (menjadikan susunan tubuhmu seimbang)
(QS Al-Infithar [82]: 6-7).

Seandainya ada salah satu anggota tubuh manusia berlebih atau
berkurang dari kadar atau syarat yang seharusnya, maka pasti
tidak akan terjadi kesetimbangan (keadilan).

Contoh lain tentang keseimbangan adalah alam raya bersama
ekosistemnya. Al-Quran menyatakan bahwa,

(Allah) Yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis.
Kamu sama sekali tidak melihat pada ciptaan Yang Maha
Pemurah itu sesuatu yang tidak seimbang. Amatilah
berulang-ulang! Adakah kamu melihat sesuatu yang tidak
seimbang? (QS Al-Mulk [67]: 3)

Di sini, keadilan identik dengan kesesuaian
(keproporsionalan), bukan lawan kata "kezaliman". Perlu
dicatat bahwa keseimbangan tidak mengharuskan persamaan kadar
dan syarat bagi semua bagian unit agar seimbang. Bisa saja
satu bagian berukuran kecil atau besar, sedangkan kecil dan
besarnya ditentukan oleh fungsi yang diharapkan darinya.

Petunjuk-petunjuk Al-Quran yang membedakan satu dengan yang
lain, seperti pembedaan lelaki dan perempuan pada beberapa hak
waris dan persaksian -apabila ditinjau dari sudut pandang
keadilan- harus dipahami dalam arti keseimbangan, bukan
persamaan.

Keadilan dalam pengertian ini menimbulkan keyakinan bahwa
Allah Yang Mahabijaksana dan Maha Mengetahui menciptakan dan
mengelola segala sesuatu dengan ukuran, kadar, dan waktu
tertentu guna mencapai tujuan. Keyakinan ini nantinya
mengantarkan kepada pengertian Keadilan Ilahi.

Matahari dan bulan beredar dengan perhitungan yang
amat teliti (QS Al-Rahman [55]: 5).

Sesungguhuga Kami menciptakan segala sesuatu menurut
ukurannya (QS Al-Qamar [54]: 49)

Ketiga, adil adalah "perhatian terhadap hak-hak individu dan
memberikan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya"

Pengertian inilah yang didefinisikan dengan "menempatkan
sesuatu pada tempatnya" atau "memberi pihak lain haknya
melalui jalan yang terdekat". Lawannya adalah "kezaliman",
dalam arti pelanggaran terhadap hak-hak pihak lain. Dengan
demikian menyirami tumbuhan adalah keadilan dan menyirami duri
adalah lawannya. Sungguh merusak permainan (catur), jika
menempatkan gajah di tempat raja, demikian ungkapan seorang
sastrawan yang arif.

Pengertian keadilan seperti ini, melahirkan keadilan sosial.

Keempat, adil yang dinisbatkan kepada Ilahi

Adil di sini berarti "memelihara kewajaran atas berlanjutnya
eksistensi, tidak mencegah kelanjutan eksistensi dan perolehan
rahmat sewaktu terdapat banyak kemungkinan untuk itu."

Semua wujud tidak memiliki hak atas Allah. Keadilan Ilahi pada
dasarnya merupakan rahmat dan kebaikan-Nya. KeadilanNya
mengandung konsekuensi bahwa rahmat A h Swt. tidak tertahan
untuk diperoleh sejauh makhluk itu dapat meraihnya.

Sering dinyatakan bahwa ketika A mengambil hak dari B, maka
pada saat itu juga B mengambil hak dari A. Kaidah ini tidak
berlaku untuk Allah Swt., karena Dia memiliki hak atas semua
yang ada, sedangkan semua yang ada tidak memiliki sesuatu di
sisi-Nya.

Dalam pengertian inilah harus dipahami kandungan firman-Nya
yang menunjukkan Allah Swt. sebagai qaiman bilqisth (yang
menegakkan keadilan) (QS Ali 'Imram [3]: 18), atau ayat lain
yang mengandung arti keadilan-Nya seperti:

Dan Tuhanmu tidak berlaku aniaya kepada hamba-hambaNya
(QS Fushshilat [41]: 46).

KEADILAN MENCAKUP SEMUA HAL

Seperti dikemukakan di atas, Allah menciptakan dan mengelola
alam raya ini dengan keadilan, dan menuntut agar keadilan
mencakup semua aspek kehidupan. Akidah, syariat atau hukum,
akhlak, bahkan cinta dan benci.

Dan Kamu pasti tidak akan dapat berlaku adil di antara
wanita-wanita (istri-istrimu dalam hal cinta),
walaupun kamu berusaha keras ingin berbuat demikian.
Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada
yang kamu cintai), dan membiarkan yang lain
terkatung-katung (QS Al-Nisa' [4]: 129).

Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak
keadilan, menjadi saksi karena Allah, biar pun
terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kerabatmu.
Jika ia (yang tergugat atau terdakwa) kaya atau
miskin, maka Allah lebih utama dari keduanya... (QS
Al-Nisa' [14]: 135)

Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu
kelompok menjadikan kamu tidak berlaku adil (QS
Al-Ma-idah [5]: 8)

Kebencian tidak pernah dapat dijadikan alasan untuk
mengorbankan keadilan, walaupun kebencian itu tertuju kepada
kaum non-Muslim, atau didorong oleh upaya memperoleh ridhaNya.
Itu sebabnya Rasul Saw. mewanti-wanti agar,

Berhati-hatilah terhadap doa (orang) yang teraninya,
walaupun dia kafir, karena tidak ada pemisah antara
doanya dengan Tuhan.

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan
"tuqsithu" (berlaku adil) terhadap orang-orang (kafir)
yang tidak menerangimu karena agama, dan tidak
mengusirmu dari negerimu atau membantu orang lain
untuk mengusir kamu... (QS Al-Mumtahanah [60]: 8).

Demikian sekilas tentang keadilan..
<$BlogDateHeaderDate$>
Revitalisasi Kebhinekaan “Berbeda Tapi Mesra”

slogan Filosofi bangsa merah putih ini adalah kebhinekaan, walaupun berbeda tetap satu jua. Seolah ini masih difahami dalam bingkai minimalis dan ekslusif. kemajemukan harusnya menjadi bukti dari adanya banyak keragaman SARA yang tetap menjadi ruh kebhinekaan.
Jika ditarik dari spektrum yang lebih luas terlebih dihubungkan dengan sikap beragama, maka inklusifitas menjadi keniscayaan yang harus diwujudkan dalam berperilaku dikeseharian masyarakat kita. Demikian bukti bahwa pluralitas yang hegemonik dapat difahami sebagai bagian dari wujud demokrasi kebangsaan yang esensial.
Lalu bagaimanakah ukuran keberagaman yang muncul dinegeri ini atas toleransi dan bentuk saling hargai? Inilah yang belum tergarap. Tragedi monas menjadi lembaran-lembaran hitam panjang, bahwa keberagaman malah menjadi ajang untuk menciptakan konfllik yang bernuansa politik dan cultural.
Ini diakibatkan dari ketimpangan terhadap pendidikan keberagaman, doktrin setara masif untuk bersatu masih menghegemoni perbedaan adalah niscaya. Lalu bagaimana sebenarnya kurikulum pendidikan yang kita jalani dalam prosesnya? Ini menjadi perhatian bersama bahwa dalam memaknai perbedaan adalah rahmat belum sepenuhnya atau malah masih setengah hati.
Perbedaan malah menjadi tak berdaya akibat sekat perbedaan, jargon kebhinekaan hanya sebatas slogan yang dibaca. Dari kondisi inilah diperlukan revitaliassi pemaknaan atas kebhinekaan dengan memahami kondisi kemajemukan benar menjadi dasar penghargaan.
Pendidikan inklusif ditengah pluralitas latarbelakang masyarakat yang meneguhkan kembali kesatuan atas perbedaan yang didasari dengan dengan kesadaran transenden atas perbedaan harusnya dapat dibumikan dalam kurikulum pendidikan kita walaupun tidak harus tersirat. Inipun dapat diterapkan dengan hidden curriculum yang menumbuhkembangkan kesadaran kemajemukan.
Sehingga tidak difahami sekedar kebaikan negatif (negative good) yang ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme (too keep fanaticsm at bay) yang difahami dan ditrerjemahkan untuk bertoleransi.
Kesalihan sosial ini diharapkan dapat terbagun dengan menghargai dan menghormati sesama manusia dalam bingkai kesadaran moderat.
slogan persatuan akan rapuh bila tanpa didasari dengan kesadaran atas perbedaan dan kemajemukan kebhinekaan, pondasi inilah yang perlu dibangun bersama untuk menciptakan kebersamaan dalam perbedaan tanpa mengesampingkan toleransi dan adaptasi denga pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan keadaban.
memahami adalah dengan sedia saling mendengarkan berdialog bekerjasama untuk membangiun peradaban manusia sendiri. agama adalah penyelamatan (the salvic preswence) sehingga bukan dimaknai sebatas aktifitas rutin dengan tradisi saja.
Marilah menciptakan keadialan dengan slogan ”berbeda tapi mesra” ditengah keberagaman dan kemajemukan.

Label: